BAMBANG SETIAWAN
Mendiang Kepala Kepolisian Negara RI atau Polri RS Soekanto, yang kadang disebut sebagai Bapak Kepolisian Indonesia, barangkali tak pernah membayangkan lembaga yang dibinanya pada masa-masa awal berdirinya akan menghadapi persoalan yang demikian ruwet di kemudian hari. Problem profesionalitas, independensi, integritas moral, dan rendahnya apresiasi masyarakat pada kinerja dan citra polisi menjadi wacana yang mengemuka 62 tahun setelah lembaga kepolisian ini berdiri.
Jika ada demonstrasi, terkadang polisi, khususnya yang masih muda, masih gampang terpancing emosinya oleh demonstran. Mungkin karena polisi juga manusia yang terkadang tidak bisa mengontrol emosi. Bisa dilihat dengan jelas, polisi masih tidak profesional dalam menangani demonstran. Bahkan, keberadaannya kadang-kadang malah menciptakan perkelahian,” ungkap Endang, ibu rumah tangga di Jakarta Utara, dengan kesal.
Apa yang diucapkan Endang di atas mewakili gambaran 61,3 persen responden yang dimintai pendapatnya tentang kinerja polisi. Ungkapan itu juga memberikan gambaran, apa yang dipikirkan warga ketika melihat tragedi penyerbuan polisi ke Kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta, Sabtu (24/5).
Kematian Maftuh Fauzi, mahasiswa Unas, korban dalam insiden penyerbuan polisi saat menertibkan aksi menolak kenaikan harga BBM, kian mempertebal keyakinan warga akan minimnya sikap profesional yang dimiliki oleh aparat kepolisian di lapangan.
”Saat ini, polisi bukan sebagai pelindung masyarakat. Cenderung memiliki manajemen yang jelek sehingga fungsinya pun tidak terjalankan dengan baik,” ujar Reza, responden asal Medan. Malah, saking apatisnya terhadap kinerja polisi di lapangan, seorang pegawai swasta bernama Ella mengatakan, ”Kalau ada demo mahasiswa, seharusnya polisi tidak perlu ada. Malah bikin ricuh!” Pendapat bahwa melibatkan polisi dalam suatu masalah malah menambah masalah baru disampaikan oleh 53 persen responden.
Jika sudah demikian, citra buruk pun makin tebal. Padahal, beberapa fungsi yang berbau militer mulai ditanggalkan oleh kepolisian sejak terbitnya Instruki Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tanggal 1 April 1999 pada era Presiden BJ Habibie, yang memisahkan Polri dan TNI. Pemisahan itu pun kemudian dipertegas lewat Ketetapan MPR Nomor VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas.
Maka, terwujudlah mimpi mantan Kepala Polri RS Soekanto yang dengan tegas disampaikan sebelum pengunduran dirinya tahun 1959. Menurut dia, Angkatan Kepolisian harus tetap dipisahkan dari Angkatan Perang untuk menjaga profesionalitas.
Beberapa fungsi yang diletakkan lewat Keputusan Presiden Nomor 290/1964 terkait dengan fungsi polisi sebagai alat pertahanan, fungsi kekaryaan, dan alat revolusi sudah mulai ditanggalkan. Sayangnya, menurunnya fungsi tersebut tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas aparat sebagai alat penegak hukum dan pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sikap profesional yang diharapkan muncul pada waktu tepat sering kali tidak terlihat.
Kekerasan yang dilakukan di depan sejumlah polisi yang diam oleh massa beratribut Front Pembela Islam terhadap anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada peringatan hari kelahiran Pancasila, Minggu (1/6), di kawasan Monumen Nasional, menunjukkan lemahnya pemahaman polisi terhadap fungsi profesionalnya sebagai alat ketertiban dan penegakan hukum.
Sebanyak 70 persen responden jajak pendapat Kompas pun menyatakan ketidakpuasannya terhadap langkah aparat kepolisian dalam mengendalikan aksi kekerasan atau anarki yang dilakukan organisasi massa.
Jika soalnya terkait dengan pertikaian antarideologi atau agama, aparat polisi di lapangan seolah tak tahu harus bertindak apa. Ketidakpuasan warga yang mencapai 69,1 persen terhadap upaya kepolisian dalam menangani kasus bernuansa SARA menjadi tanda kekecewaan publik yang dominan sekaligus isyarat perlunya penambahan bekal pengetahuan kepada petugas lapangan dalam hal resolusi konflik.
Senada dengan itu, citra kepolisian juga sangat terkait dengan kemampuan aparatnya dalam menangani kasus, mulai dari kriminalitas, terorisme, pelanggaran HAM, hingga korupsi dan kejahatan yang melibatkan pejabat negara, oknum militer, ataupun polisi.
Soal independensi juga menjadi titik krusial yang turut mewarnai citra polisi. Jika 61,4 persen responden jajak pendapat ini menilai polisi sering kali tidak independen dalam menangani perkara, hal ini tidak terlepas dari sorotan masyarakat terhadap sejumlah kasus yang tetap menggantung manakala diduga berkaitan dengan kepentingan pihak yang punya pengaruh dalam kekuasaan.
Kasus kerusuhan Mei, penculikan aktivis, hingga kematian pejuang hak asasi manusia, Munir, menyisakan pertanyaan mengenai independensi kepolisian.
”Saya kira, pengusutan kasus Munir ini terlalu lama dan terlalu rumit. Polisi harus lebih tegas mengusut tuntas kasus ini.” Demikian respons Karsitoh, ibu rumah tangga di Surabaya.
Kendati penyelidikan polisi mulai mengarah pada keterlibatan mantan Deputi Kepala Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono, publik (48,6 persen responden) tetap ragu kepolisian akan berani menelusuri lebih jauh dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi lainnya.
”Kalau saja polisi tidak pandang bulu, masalah ini (Munir) akan cepat tuntas,” ungkap Elly, warga Jakarta.
Tak jarang integritas moral polisi juga dipertanyakan ketika menangani kasus. Tetap maraknya pungli dan suap di tubuh lembaga ini membuat persepsi masyarakat terkait dengan lembaga pengayom masyarakat ini kerap negatif. Bahkan, 95,2 persen responden yakin lembaga ini belum bebas korupsi.
Penilaian serupa juga dihasilkan oleh Gallup International, lembaga riset yang meneliti atas nama Transparency International, pada tahun 2007. Kepolisian di Indonesia dinilai sebagai institusi paling korup dibandingkan dengan 14 instansi yang diteliti. Polisi mendapat skor 4,2, tertinggi dibandingkan dengan pengadilan dan parlemen (4,1) atau partai politik (4,0).
Sementara itu, sorotan terhadap kinerja polisi juga tak lepas dari soal jumlah. Rendahnya rasio polisi dibandingkan dengan jumlah warga yang ditanganinya adalah sisi lain yang membuat kepolisian semakin kedodoran menangani bermacam konflik sosial dan menjaga ketertiban. Jika dibandingkan dengan saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946, rasio jumlah polisi berbanding jumlah penduduk yang dilayaninya jauh menurun.
Pada awal berdirinya, 1946, police population ratio sudah 1 : 500. Jumlah anggota Polri mencapai 31.620 personel, sedangkan jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60 juta jiwa. Pada periode 1995-2000, menurut data Polri, rasio polisi dan masyarakat adalah 1 : 1000. Rasio itu membaik menjadi 1 : 700 pada periode 2000-2005. Akan tetapi, jumlah tersebut masih tergolong rendah. Sebagai perbandingan, di Jepang rasio jumlah polisi dan masyarakat adalah 1 : 520. (Litbang Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar