Sabtu, 26 Juli 2008

Polisi vs Mahasiswa

Polisi vs Mahasiswa, Siapa yang Menang?

30 Maret 2008 07:54:50

Hubungan antara aparat penegak hukum dan kaum intelektual kembali terusik. Pertarungan sengit dua institusi ini memang tidak pernah bosan untuk menjadi headline media cetak maupun elektronik. Peristiwa di Universitas Haluoleo (Unhalu) menambah deretan panjang putus-sambung hubungan kedua institusi itu.
Kampus ITS, ITS Online - Ironis, itulah kata yang pantas diucapkan ketika menyaksikan penyerbuan polisi ke kampus Unhalu Sulawesi Tenggara di televisi (28/3). Polisi terlihat bertindak beringas di sebuah institusi pendidikan. Batin ini pun bertanya, apakah ini menjadi lanjutan peristiwa di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Sulsel atau Universitas Nomensen Sumut. Modusnya pun mirip, intinya pada aksi balas dendam dan culik-menculik.

Masih teringat kejadian 4 tahun yang lalu, ketika polisi menyerbu, mengobrak-abrik bahkan mengeluarkan tembakan di dalam kampus UMI. Dalam suasana yang mencekam, puluhan mahasiswa dipukuli, ditendangi, dipentungi dan diteror, tidak sedikit mahasiswa yang tidak tahu akar permasalahan ikut menjadi korban.

Nasib Universitas Nomensen tak jauh beda, fasilitas kampus pun jadi pelampiasan lusinan aparat. Mahasiswa yang bergelar master of demo dibuat ciut di kandang sendiri, ketika itu polisi benar-benar perkasa.

Peristiwa di Unhalu kemarin bermula dari aksi simpatik yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unhalu yang menolak kebijakan penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) Kendari. Teriknya matahari membuat demonstran “gerah”, batu dan kayu berterbangan ke arah aparat yang berjaga ditengah negosiasi pimpinan demonstran dan pihak pemkot.

Merasa terdesak, aparat gabungan akhirnya berhasil mengusir mahasiswa dengan water canon dan pentungan. Tidak terima atas terlukanya beberapa temannya, mahasiswa balas dengan menggelar sweeping aparat kepolisian dan pemkot. Alhasil mahasiswa berhasil menculik polisi (Bripda Sumardin) yang sedang berada di dalam kampus.

Mengetahui ada anggota polisi yang diculik, sebagai bentuk solidaritas, satuan Samapta, Pasukan anti Huru-Hara dan pasukan elit Brimob menyerang kampus Unhalu. Bahkan intel-intel polisi sudah masuk ke dalam gedung rektorat, dimana BEM sedang mengadakan konsolidasi dengan pihak rektorat mengenai masalah ini.

Gedung Rektorat tiba-tiba menjadi medan perang, batu dan kayu mahasiswa tak kuat melawan pentungan dan pistol Colt polisi yang memuntahkan peluru ke mahasiswa. Polisi yang kalap pun menghancurkan fasilitas kampus (gedung, kendaraan dinas dll) yang ditemui secara membabi-buta. Tanpa tedeng aling-aling semua mahasiswa yang ditemui dipukul rata, padahal ketika itu Unhalu sedang mengadakan persiapan wisuda keesokan harinya.

Bagaiamana kalau terjadi di ITS
Saya mencoba membayangkan, misalnya kasus itu terjadi di ITS, BEM ITS menculik aparat Polsek Sukolilo. Ketika itu ITS juga tengah disibukkan dengan prosesi wisuda di Graha Sepuluh Nopember. Lalu aparat bersenjata lengkap tiba-tiba menyerang. SKK di pos depan pintu masuk pun tidak mungkin bisa membendung (kalah kekar dan senjata). Kemungkinan pertama yang diserang adalah kampus D3 FTI atau FTSp (bersiap-siaplah). Jadi yang kampusnya di pelosok (bagian belakang seperti FTK) masih ada kesempatan untuk menyelamatkan diri.

Setelah itu aparat mencapai gedung rektorat yang dijaga SKK dengan jumlah yang bisa dihitung dengan jari. Didalam gedung ada Pak Probo yang sedang rapat mengenai GAINPros dengan jajarannya. Lalu ada Nurkholis, Pres. BEM, sedang konsolidasi masalah ini dengan jajarannya di lantai 2. Aparat merangsek masuk dan terjadilah keributan dan bentrokan fisik didalam gedung

Sementara diluar gedung, mobil bernopol L 14 dan beberapa kendaraan berplat merah sudah dirusak. Kaca-kaca rektorat pun berantakan sekaligus merusak mobil panel surya karya mahasiswa ITS. Polisi dan intel juga merazia anggota BEM-ITS. Namun karena tidak berhasil, semua mahasiswa jadi sasaran. Beruntung ITS punya tata ruang yang bagus, dekat rektorat ada masjid manarul ilmi. Jadi, nggak perlu jauh-jauh buat ngungsi ke tempat aman dan nyaman.

Jangan Menyalahkan Satu Pihak
Terkadang mahasiswa terlalu berlebihan dalam menafsirkan kebebasan berpendapat. Mahasiswa juga sering menyertakan tindakan kurang terpuji dalam aksinya, seperti menghina seseorang atau institusi, kata-kata kotor, penyanderaan, menyerang dan merusak menjadi bumbu dalam aksinya.

Aksi demonstrasi sudah tidak murni lagi, lebih banyak ditunggangi kepentingan luar. Naasnya, sekarang banyak organisasi mahasiswa yang berdemo hanya untuk mencari popularitas tanpa mengetahui esensi dari aksi itu.

Dalam UU no. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan meyampaikan pendapat di depan umum menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat merupakan wujud demokrasi dalam kehidupan berbangsa. Pada pasal 6 dalam UU tersebut, pihak yang menyampaikan pendapat di depan umum harus menghormati hak orang lain, aturan moral di masyarakat, hukum yang berlaku dan ketertiban umum.

Sedangkan pasal 12 menyebutkan bahwa penanggung jawab acara ini wajib bertanggung jawab secara keseluruhan aksinya dan tiap 100 pengunjuk rasa harus ada 1-5 penangung jawab. Tiga hari sebelum acara, pelaksana harus menyerahkan surat izin yang berisi maksud, tujuan, lokasi, penanggung jawab, alat peraga dan jumlah peserta.

Sebagai penegak hukum, polisi sudah berusaha menjalakan pasal 15 yaitu pelaksanaan penyampaian pendapat umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan tadi. Bila terjadi tindak pidana, Penanggung jawab atau pelaku dapat dihukum sesuai peraturan yang berlaku ditambah dengan 1/3 dari pidana pokok (pasal 16).

Pesan Untuk Sang Demonstran
Tulisan ini bukan untuk menciutkan nyali para mahasiswa dihadapan aparat. Selama mahasiswa berada di pihak yang benar tidak perlu ragu untuk memperjuangkannya. Namun mahasiswa bukanlah preman yang mendahulukan emosi ketimbang akal, jadilah tauladan di mata masyarakat (moral force).

Kalau yang berpendidikan saja sudah bertindak destruktif dan emosional, bagaimana dengan yang tidak mengenyam pendidikan. Carilah cara yang lebih kreatif untuk menyampaikan pendapat atau kritik. Toh, mahasiswa tidak harus turun ke jalan untuk berpendapat.

Dikutip dari berbagai sumber
Bahtiar Rifai S
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Insiden Demo Mahasiswa


Oleh : Tunas Bangsa

Selama ini saya menghormati artikel-artikel Om Seno, tapi secara khusus saya sangat kecewa dan gerah dengan artikel Insiden Unas yang ditulis oleh AKP Pengging. Salah satu dampak dari dibukanya Blog I-I untuk penulis selain Om Seno akan membuat Blog ini menjadi tempat pembenaran dari pihak aparat dan menjadi gejala dipinggirkannya idealisme intelijen yang selama ini lumayan obyektif dari perspektif Om Seno.

Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan pandangan saya (semoga dimuat karena kalau tidak saya pastikan Om Seno tidak pantas lagi menjadi acuan kalangan intelektual untuk reformasi intelijen di Indonesia)

Saya tidak akan menyampaikan kronologis peristiwa seperti gaya Polisi, karena teman-teman mahasiswa sudah menyampaikan bagaimana kronologis peristiwa Unas kepada DPR-RI yang diterima oleh Komisi III. Disamping peristiwa Unas, teman-teman mahasiswa juga mencatat penembakan oleh oknum Polisi kepada rekan kami dari BEM UI, kemudian kami juga mencatat adanya gejala pancingan dalam peristiwa blokade jalan di depan Kampus UKI.

Catatan penting yang ingin saya sampaikan adalah sebagai berikut:

Pertama, saya memperhatikan intelijen amat sangat melempem khususnya dalam melakukan pencegahan "meledaknya" ekspresi demokrasi dalam bentuk demonstrasi. Apa-apa yang dituduhkan sebagai adanya penyusup bukannya tidak diperhatikan oleh kalangan mahasiswa. Kami sangat waspada dengan adanya upaya provokasi yang akan menggiring sebuah demonstrasi menjadi aksi kekerasan. Apa yang terjadi dalam peristiwa Unas adalah disebabkan oleh dua pihak dalam situasi berhadapan yang sulit terelakkan. Ketika ada upaya-upaya represi dari Kepolisian, kami mahasiswa tentunya tidak bisa tinggal diam karena hal itu sama saja dengan memberangus demokrasi. Kesalahan prosedur terekam sangat banyak dimana masuknya aparat kepolisian jelas-jelas telah menodai demokrasi kita. Betapapun tindakan yang dilakukan mahasiswa di Unas, tidak ada yang melakukan penyerangan serius kepada aparat Polisi, sebaliknya aparat Polisi secara membabi buta melakukan pemburuan, pemukulan dan penangkapan.

Kedua, apabila benar ada oknum penyusup atau oknum mahasiswa yang berlaku sebagai provokator, seharusnya tindakan yang dilakukan secara hati-hati memilih dan memilah sasaran secara seksama, bukan membabi buta melakukan pengrusakan yang akhirnya memicu reaksi yang semakin keras. Lebih jauh lagi tuduhan hukum kepada seorang provokator juga harus dibuktikan di depan pengadilan, bukan hanya berdasarkan laporan informan belaka.

Ketiga, demonstrasi mahasiswa adalah refleksi murni kepedulian mahasiswa atas nasib rakyat Indonesia yang terhimpit oleh beban kenaikan harga BBM yang diikuti oleh kenaikan biaya hidup secara keseluruhan.

Keempat, apabila benar ada mahasiswa palsu, provokator penyusup dalam gerakan mahasiswa dan mahasiswa yang melakukan penyimpangan, maka penyelidikan jangan hanya berhenti pada pelaku saja, tetapi juga kepada otaknya. Provokator di lapangan demonstrasi adalah pemain kecil yang dikendalikan oleh pemesannya. Pengungkapan pengendali provokator haruslah tuntas. Meskipun Kapolri, Ka BIN telah memberikan sinyalemen namun ompong kosong melompong, apa artinya kata-kata "ah kalian juga sudah tahu??" atau apa arti tuduhan bahwa pemainnya ada di DPR??

Kelima, apabila kita ingin menjadi negara yang maju, demokratis dan berdasarkan pada hukum, maka janganlah melakukan perang opini. Tetapi lakukan pembuktian hukum yang diperkuat oleh keputusan hukum, sehingga tidak akan ada ruang dalam memainkan fitnah di negeri kita.

Sekian

Semoga Om Seno masih memiliki integritas dalam mengelola Blog Intel

masalah Profesionalitas di dalam Kepolisian

JAJAK PENDAPAT "KOMPAS"
Problem Profesionalitas di Tubuh Kepolisian
Senin, 30 Juni 2008 | 03:00 WIB

BAMBANG SETIAWAN

Mendiang Kepala Kepolisian Negara RI atau Polri RS Soekanto, yang kadang disebut sebagai Bapak Kepolisian Indonesia, barangkali tak pernah membayangkan lembaga yang dibinanya pada masa-masa awal berdirinya akan menghadapi persoalan yang demikian ruwet di kemudian hari. Problem profesionalitas, independensi, integritas moral, dan rendahnya apresiasi masyarakat pada kinerja dan citra polisi menjadi wacana yang mengemuka 62 tahun setelah lembaga kepolisian ini berdiri.

Jika ada demonstrasi, terkadang polisi, khususnya yang masih muda, masih gampang terpancing emosinya oleh demonstran. Mungkin karena polisi juga manusia yang terkadang tidak bisa mengontrol emosi. Bisa dilihat dengan jelas, polisi masih tidak profesional dalam menangani demonstran. Bahkan, keberadaannya kadang-kadang malah menciptakan perkelahian,” ungkap Endang, ibu rumah tangga di Jakarta Utara, dengan kesal.

Apa yang diucapkan Endang di atas mewakili gambaran 61,3 persen responden yang dimintai pendapatnya tentang kinerja polisi. Ungkapan itu juga memberikan gambaran, apa yang dipikirkan warga ketika melihat tragedi penyerbuan polisi ke Kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta, Sabtu (24/5).

Kematian Maftuh Fauzi, mahasiswa Unas, korban dalam insiden penyerbuan polisi saat menertibkan aksi menolak kenaikan harga BBM, kian mempertebal keyakinan warga akan minimnya sikap profesional yang dimiliki oleh aparat kepolisian di lapangan.

”Saat ini, polisi bukan sebagai pelindung masyarakat. Cenderung memiliki manajemen yang jelek sehingga fungsinya pun tidak terjalankan dengan baik,” ujar Reza, responden asal Medan. Malah, saking apatisnya terhadap kinerja polisi di lapangan, seorang pegawai swasta bernama Ella mengatakan, ”Kalau ada demo mahasiswa, seharusnya polisi tidak perlu ada. Malah bikin ricuh!” Pendapat bahwa melibatkan polisi dalam suatu masalah malah menambah masalah baru disampaikan oleh 53 persen responden.

Jika sudah demikian, citra buruk pun makin tebal. Padahal, beberapa fungsi yang berbau militer mulai ditanggalkan oleh kepolisian sejak terbitnya Instruki Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tanggal 1 April 1999 pada era Presiden BJ Habibie, yang memisahkan Polri dan TNI. Pemisahan itu pun kemudian dipertegas lewat Ketetapan MPR Nomor VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas.

Maka, terwujudlah mimpi mantan Kepala Polri RS Soekanto yang dengan tegas disampaikan sebelum pengunduran dirinya tahun 1959. Menurut dia, Angkatan Kepolisian harus tetap dipisahkan dari Angkatan Perang untuk menjaga profesionalitas.

Beberapa fungsi yang diletakkan lewat Keputusan Presiden Nomor 290/1964 terkait dengan fungsi polisi sebagai alat pertahanan, fungsi kekaryaan, dan alat revolusi sudah mulai ditanggalkan. Sayangnya, menurunnya fungsi tersebut tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas aparat sebagai alat penegak hukum dan pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sikap profesional yang diharapkan muncul pada waktu tepat sering kali tidak terlihat.

Kekerasan yang dilakukan di depan sejumlah polisi yang diam oleh massa beratribut Front Pembela Islam terhadap anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada peringatan hari kelahiran Pancasila, Minggu (1/6), di kawasan Monumen Nasional, menunjukkan lemahnya pemahaman polisi terhadap fungsi profesionalnya sebagai alat ketertiban dan penegakan hukum.

Sebanyak 70 persen responden jajak pendapat Kompas pun menyatakan ketidakpuasannya terhadap langkah aparat kepolisian dalam mengendalikan aksi kekerasan atau anarki yang dilakukan organisasi massa.

Jika soalnya terkait dengan pertikaian antarideologi atau agama, aparat polisi di lapangan seolah tak tahu harus bertindak apa. Ketidakpuasan warga yang mencapai 69,1 persen terhadap upaya kepolisian dalam menangani kasus bernuansa SARA menjadi tanda kekecewaan publik yang dominan sekaligus isyarat perlunya penambahan bekal pengetahuan kepada petugas lapangan dalam hal resolusi konflik.

Senada dengan itu, citra kepolisian juga sangat terkait dengan kemampuan aparatnya dalam menangani kasus, mulai dari kriminalitas, terorisme, pelanggaran HAM, hingga korupsi dan kejahatan yang melibatkan pejabat negara, oknum militer, ataupun polisi.

Soal independensi juga menjadi titik krusial yang turut mewarnai citra polisi. Jika 61,4 persen responden jajak pendapat ini menilai polisi sering kali tidak independen dalam menangani perkara, hal ini tidak terlepas dari sorotan masyarakat terhadap sejumlah kasus yang tetap menggantung manakala diduga berkaitan dengan kepentingan pihak yang punya pengaruh dalam kekuasaan.

Kasus kerusuhan Mei, penculikan aktivis, hingga kematian pejuang hak asasi manusia, Munir, menyisakan pertanyaan mengenai independensi kepolisian.

”Saya kira, pengusutan kasus Munir ini terlalu lama dan terlalu rumit. Polisi harus lebih tegas mengusut tuntas kasus ini.” Demikian respons Karsitoh, ibu rumah tangga di Surabaya.

Kendati penyelidikan polisi mulai mengarah pada keterlibatan mantan Deputi Kepala Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono, publik (48,6 persen responden) tetap ragu kepolisian akan berani menelusuri lebih jauh dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi lainnya.

”Kalau saja polisi tidak pandang bulu, masalah ini (Munir) akan cepat tuntas,” ungkap Elly, warga Jakarta.

Tak jarang integritas moral polisi juga dipertanyakan ketika menangani kasus. Tetap maraknya pungli dan suap di tubuh lembaga ini membuat persepsi masyarakat terkait dengan lembaga pengayom masyarakat ini kerap negatif. Bahkan, 95,2 persen responden yakin lembaga ini belum bebas korupsi.

Penilaian serupa juga dihasilkan oleh Gallup International, lembaga riset yang meneliti atas nama Transparency International, pada tahun 2007. Kepolisian di Indonesia dinilai sebagai institusi paling korup dibandingkan dengan 14 instansi yang diteliti. Polisi mendapat skor 4,2, tertinggi dibandingkan dengan pengadilan dan parlemen (4,1) atau partai politik (4,0).

Sementara itu, sorotan terhadap kinerja polisi juga tak lepas dari soal jumlah. Rendahnya rasio polisi dibandingkan dengan jumlah warga yang ditanganinya adalah sisi lain yang membuat kepolisian semakin kedodoran menangani bermacam konflik sosial dan menjaga ketertiban. Jika dibandingkan dengan saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946, rasio jumlah polisi berbanding jumlah penduduk yang dilayaninya jauh menurun.

Pada awal berdirinya, 1946, police population ratio sudah 1 : 500. Jumlah anggota Polri mencapai 31.620 personel, sedangkan jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60 juta jiwa. Pada periode 1995-2000, menurut data Polri, rasio polisi dan masyarakat adalah 1 : 1000. Rasio itu membaik menjadi 1 : 700 pada periode 2000-2005. Akan tetapi, jumlah tersebut masih tergolong rendah. Sebagai perbandingan, di Jepang rasio jumlah polisi dan masyarakat adalah 1 : 520. (Litbang Kompas)